Kakak dan Adik
"Surat Cinta di Dinding"
(Oleh: Eka Restu Anggraeni)
***
Aku membenturkan sapu dengan keras ke dinding. Aku masih merasa kesal.
Diana si idiot kecil itu berulah lagi, dan kali ini vas bunga favorit
mama yang jadi korban. Satu jam yang lalu, aku baru saja tiba di rumah
ketika Diana si idiot itu tiba-tiba saja berlari ke arahku dan
menabrakku. Aku kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh menindih vas
bunga mama. Mama datang dengan langkah tergopoh-gopoh menghampiri kami.
Aku terbaring di lantai dengan pecahan vas berserakan di sekitarku.
"Bukan salahku! Si idiot kecil itu menabrakku!" aku berbicara
cepat-cepat sebelum mama menyalahkanku. Aku memandang tajam ke arah
Diana yang sedang duduk di lantai, dia memandangiku tanpa ekspresi. Mama
memijit keningnya.
"Pram, berhenti menyebut adikmu dengan kata idiot. Cepat bereskan
semuanya, sekarang waktunya Diana terapi." Mama berkata datar, kemudian
pergi sambil menggandeng Diana.
Aku mendengus kesal. Tumben bocah itu tidak berteriak atau meronta saat
mama menggandeng tangannya. Padahal biasanya dia akan meronta dan
berteriak-teriak seperti orang kesurupan saat mama mendekatinya.
Ternyata terapi yang dilakukan mama belakangan ini lumayan berguna. Tapi
Diana tetap saja Diana. Gadis kecil yang telah merampas keharmonisan
keluargaku, gadis kecil idiot yang sering membuat masalah, gadis kecil
yang membuat aku menjadi bahan ejekan teman-teman sekolah.
***
Dulu, aku memiliki sebuah keluarga yang sangat sempurna. Aku adalah anak
tunggal di keluarga ini. Papaku seorang dokter yang hebat. Sedangkan
mamaku adalah seorang ibu rumah tangga yang luar biasa. Aku bahagia
hidup di tengah-tengah keluarga yang sempurna. Kami tinggal di rumah
yang sederhana, indah dan terawat dengan baik.
Aku sangat betah berlama-lama di rumah dan memandangi mama yang tengah
sibuk di kebun atau di dapur. Seringkali saat aku memandanginya, mama
memanggilku dan memetikkan bunga untukku. Mamaku adalah seorang wanita
yang istimewa. Senyumnya yang hangat dan masakannya yang lezat
senantiasa menyambutku sepulang sekolah. Membayar semua rasa lelah.
Tapi kini, semenjak kehadiran Diana kecil, segalanya berubah. Aku mulai
merasa jauh dari mama dan papa. Semuanya menyibukkan diri dengan Diana.
Diana lahir dalam keadaan tidak normal. Diana cacat mental, aku lebih
suka menyebutnya dengan si idiot pembawa sial. Mama memarahiku
habis-habisan saat mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Padahal
sebelumnya mama belum pernah semarah itu padaku.
***
Sayup-sayup aku mendengar suara lagu allegretto dari album the mozart
effect mengalun dari arah kamar Diana. Diana sedang terapi. Mama bilang,
perkembangannya cepat sekali. Mama optimis Diana pasti bisa sembuh. Aku
mencibir. Cacat mental memangnya bisa disembuhkan? Cacat mental kan
kelainan, bukan penyakit.
Aku melihat Diana sedang mencoret-coret dinding kamarnya, mama berdiri
di sampingnya. Dia tersenyum dan matanya berkaca-kaca. Diana mengoceh
tak jelas. Aku merasa semakin jengkel.
Dulu aku pernah mencoret-coret dinding kamarku dan dimarahi oleh mama.
Tapi mengapa sekarang saat Diana mencoret-coret dinding kamarnya, mama
malah diam saja? Bahkan mama memandanginya dengan tatapan haru seperti
itu. Benar-benar tidak adil. Mama seharusnya lebih menyayangiku daripada
Diana. Aku anak yang pintar dan berprestasi. Aku tidak merepotkan
seperti Diana.
***
Hari ini aku menerima penghargaan sebagai siswa teladan di sekolah. Tapi
aku kesal, mama tidak datang untuk menontonku berpidato di atas
panggung. Sesampainya dirumah, aku segera meluncur ke kamar mama, bahkan
tanpa melepaskan sepatuku terlebih dahulu. Satu minggu yang lalu, mama
sudah berjanji akan menghadiri undangan apresiasi siswa berprestasi.
Tapi mama mengingkarinya. Padahal aku berusaha sangat keras untuk
merebut predikat ini dan mempersembahkannya untuk mama. Aku ingin mama
bangga saat melihatku berpidato dan memuji-mujinya dari atas panggung.
Aku ingin mama dan papa memelukku erat sambil mengucapkan selamat
seperti yang selalu mereka lakukan dulu. Aku benar-benar kecewa. Pasti
gara-gara Diana.
"Mama kemana?" tanyaku pada Diana yang sedang menggenggam krayon merah di tangan kanannya.
"Mozart.." jawabnya lirih.
Aku jadi ingat. Semalam mama mengeluh kaset terapi the mozart effectnya
rusak karena terlalu sering diputar. Mama saat ini pasti sedang pergi
untuk membeli yang baru.
"Dasar idiot, gara-gara kamu mama jadi lupa datang ke acara sekolahku!" bentakku. Diana memandangku tanpa ekspresi.
"Kakak..." ucapnya tiba-tiba.
Tangan kecilnya meraih tanganku. Menariknya perlahan. Aku menghempaskan tangannya. Dia terhuyung ke belakang.
"Apaan sih kamu? Tanganmu kotor!" aku membentak lagi sambil mengibaskan tanganku.
"Lihat gambarku." Jawabnya singkat.
"Aku bisa nulis. Aku bisa gambar." Diana sumringah.
Dia merogoh sakunya sambil mengangsurkan secarik kertas yang sudah lusuh
dan penuh coretan krayon. Sepertinya aku mengenali kertas itu. Aku
merampas benda itu dari tangan Diana.
"Bagus kan, Kak?" tanyanya.
Aku terbelalak.
"Apa?! Dasar bocah idiot! Kamu tahu ini apa? Ini sertifikatku! Aku
berminggu-minggu belajar ekstra untuk mendapatkan ini! Kenapa malah kamu
coret-coret?!" emosiku memuncak.
"Kakak tidak suka?" Diana bertanya lagi.
"Aku lebih suka kamu mati." Jawabku ketus sambil melempar sertifikatku
yang sudah lecek itu keluar jendela. Aku segera berjalan sambil
menghentak-hentakkan kakiku menuju kamar. Kali ini bocah idiot itu sudah
sangat keterlaluan.
------
"Kakak bilang, kakak lebih suka aku mati.?" Diana berdiri di hadapanku.
Pandangan matanya kosong. Diana berbicara lancar. Tidak tergagap seperti
biasanya.
"Aku mau mati asal bisa bikin kakak suka sama aku." tambahnya. Aku
tercekat. Diana saat itu sedang mengenakan gaun pink favoritnya.
Wajahnya pucat. Dengan tangan yang gemetar, dia mengangsurkan secarik
kertas lusuh padaku. Aku menerimanya. Perlahan-lahan, aku membuka
lipatannya. Ada coretan krayon merah yang membentuk dua orang sedang
bergandengan tangan. Gambarnya memang jelek, tapi aku terharu saat
membaca judulnya; "Aku dan Kak Pram".
"Aku lompat dari jendela untuk mengambil kertas ini. Tadi kakak belum
lihat gambarnya. Aku ingin kakak melihatnya.. Aku sudah mati kak,
seperti kemauan kakak. Jadi sekarang kakak suka kan sama aku?" ucapnya
polos. Dadaku sesak.
***
Aku terbangun dengan keringat membasahi sekujur tubuhku. Napasku
tersengal-sengal seperti habis berlari marathon. Aku merasakan ada
sesuatu yang kugenggam di tangan kiriku.
Aku terhenyak. Dadaku berdetak cepat. Dengan tangan gemetar, aku membuka
lipatan kertas lusuh itu. Bagaimana benda ini bisa kugenggam? Aku
yakin, aku sudah melemparnya keluar jendela tadi. Tubuhku lemas ketika
aku mendapati yang ada dalam kertas itu adalah gambar dengan judul yang
sama persis dengan mimpiku.
Tanpa pikir panjang, aku segera berlari ke arah kamar Diana. Kumohon
Tuhan, maafkan aku. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Diana, aku tidak
akan pernah bisa memaafkan diriku. Aku yakin ini hanya mimpi, tapi
kenapa kertas ini bisa ada disini? Ya Tuhan, tolong lindungi Diana.
Aku merasa lega saat melihat Diana kecil dengan tangan dan bajunya yang
penuh dengan noda krayon sedang asyik mencoret-coret dinding kamarnya.
Syukurlah, ternyata hanya mimpi.
Aku melangkah masuk. Diana kecil masih sibuk menggoreskan krayonnya ke
dinding, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Aku terisak
perlahan saat kuamati coretan-coretan yang Diana buat di dinding
kamarnya.
"Aku sayang Kak Pram"
"Aku main boneka sama Kak Pram"
"Aku naik sepeda sama Kak Pram"
Ya Tuhan, jahat sekali aku selama ini. Kenapa aku bisa membenci adikku
sendiri? Aku memeluk erat Diana. Dia menghentikan kegiatan menggambarnya
dan memandangku. Tubuhnya dingin. Kertas lusuh yang kugenggam tadi
terjatuh. Diana meraihnya dan mengangsurkannya kembali padaku. Aku
menerimanya sambil tersenyum.
"Gambarmu bagus. Kamu pintar sekali." Pujiku sambil mengusap lembut rambutnya.
"DIANAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA...!!!"
Aku terkejut mendengar teriakan mama. Aku segera beranjak menuju jendela
untuk melihat apa yang terjadi di bawah sana, tapi suara Diana
menghentikan langkahku.
"Terima kasih, kak. Tidak sia-sia aku lompat dari jendela untuk
mengambil kertas ini. Tadi kakak belum lihat gambarnya. Aku ingin kakak
melihatnya..." ucapnya polos. Dia tersenyum.
Wajahku memucat. Apa maksudnya?? Aku mundur perlahan ke arah jendela.
Banyak kerumunan orang di bawah sana. Aku melihat mama sedang memeluk
gadis kecil yang terbaring dan bersimbah darah. Aku mengenali sosok itu.
Itu Diana.
Ragu-ragu, aku menatap kembali ke arah tembok. Diana sudah tidak ada di sana.
Ya Tuhan, Diana....
Bagaimana cerita pendek tentang kakak adik diatas. Kalo kalian bacanya menghayati pasti merasa sedih dan terharu deh. Cerpen Sedih Kakak Adik
diatas bisa juga jadi renungan buat kita, jangan pernah merasa malu
apalagi berlaku kasar dan gak mau nerima kalo punya seseorang yang
mempunyai kekurangan fisik (baca: cacat / anak berkebutuhan khusus).
Disalin dari facebook. Salam cinta dan persahabatan.
"Surat Cinta di Dinding"
(Oleh: Eka Restu Anggraeni)
***
Aku membenturkan sapu dengan keras ke dinding. Aku masih merasa kesal.
Diana si idiot kecil itu berulah lagi, dan kali ini vas bunga favorit
mama yang jadi korban. Satu jam yang lalu, aku baru saja tiba di rumah
ketika Diana si idiot itu tiba-tiba saja berlari ke arahku dan
menabrakku. Aku kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh menindih vas
bunga mama. Mama datang dengan langkah tergopoh-gopoh menghampiri kami.
Aku terbaring di lantai dengan pecahan vas berserakan di sekitarku.
"Bukan salahku! Si idiot kecil itu menabrakku!" aku berbicara
cepat-cepat sebelum mama menyalahkanku. Aku memandang tajam ke arah
Diana yang sedang duduk di lantai, dia memandangiku tanpa ekspresi. Mama
memijit keningnya.
"Pram, berhenti menyebut adikmu dengan kata idiot. Cepat bereskan
semuanya, sekarang waktunya Diana terapi." Mama berkata datar, kemudian
pergi sambil menggandeng Diana.
Aku mendengus kesal. Tumben bocah itu tidak berteriak atau meronta saat
mama menggandeng tangannya. Padahal biasanya dia akan meronta dan
berteriak-teriak seperti orang kesurupan saat mama mendekatinya.
Ternyata terapi yang dilakukan mama belakangan ini lumayan berguna. Tapi
Diana tetap saja Diana. Gadis kecil yang telah merampas keharmonisan
keluargaku, gadis kecil idiot yang sering membuat masalah, gadis kecil
yang membuat aku menjadi bahan ejekan teman-teman sekolah.
***
Dulu, aku memiliki sebuah keluarga yang sangat sempurna. Aku adalah anak
tunggal di keluarga ini. Papaku seorang dokter yang hebat. Sedangkan
mamaku adalah seorang ibu rumah tangga yang luar biasa. Aku bahagia
hidup di tengah-tengah keluarga yang sempurna. Kami tinggal di rumah
yang sederhana, indah dan terawat dengan baik.
Aku sangat betah berlama-lama di rumah dan memandangi mama yang tengah
sibuk di kebun atau di dapur. Seringkali saat aku memandanginya, mama
memanggilku dan memetikkan bunga untukku. Mamaku adalah seorang wanita
yang istimewa. Senyumnya yang hangat dan masakannya yang lezat
senantiasa menyambutku sepulang sekolah. Membayar semua rasa lelah.
Tapi kini, semenjak kehadiran Diana kecil, segalanya berubah. Aku mulai
merasa jauh dari mama dan papa. Semuanya menyibukkan diri dengan Diana.
Diana lahir dalam keadaan tidak normal. Diana cacat mental, aku lebih
suka menyebutnya dengan si idiot pembawa sial. Mama memarahiku
habis-habisan saat mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Padahal
sebelumnya mama belum pernah semarah itu padaku.
***
Sayup-sayup aku mendengar suara lagu allegretto dari album the mozart
effect mengalun dari arah kamar Diana. Diana sedang terapi. Mama bilang,
perkembangannya cepat sekali. Mama optimis Diana pasti bisa sembuh. Aku
mencibir. Cacat mental memangnya bisa disembuhkan? Cacat mental kan
kelainan, bukan penyakit.
Aku melihat Diana sedang mencoret-coret dinding kamarnya, mama berdiri
di sampingnya. Dia tersenyum dan matanya berkaca-kaca. Diana mengoceh
tak jelas. Aku merasa semakin jengkel.
Dulu aku pernah mencoret-coret dinding kamarku dan dimarahi oleh mama.
Tapi mengapa sekarang saat Diana mencoret-coret dinding kamarnya, mama
malah diam saja? Bahkan mama memandanginya dengan tatapan haru seperti
itu. Benar-benar tidak adil. Mama seharusnya lebih menyayangiku daripada
Diana. Aku anak yang pintar dan berprestasi. Aku tidak merepotkan
seperti Diana.
***
Hari ini aku menerima penghargaan sebagai siswa teladan di sekolah. Tapi
aku kesal, mama tidak datang untuk menontonku berpidato di atas
panggung. Sesampainya dirumah, aku segera meluncur ke kamar mama, bahkan
tanpa melepaskan sepatuku terlebih dahulu. Satu minggu yang lalu, mama
sudah berjanji akan menghadiri undangan apresiasi siswa berprestasi.
Tapi mama mengingkarinya. Padahal aku berusaha sangat keras untuk
merebut predikat ini dan mempersembahkannya untuk mama. Aku ingin mama
bangga saat melihatku berpidato dan memuji-mujinya dari atas panggung.
Aku ingin mama dan papa memelukku erat sambil mengucapkan selamat
seperti yang selalu mereka lakukan dulu. Aku benar-benar kecewa. Pasti
gara-gara Diana.
"Mama kemana?" tanyaku pada Diana yang sedang menggenggam krayon merah di tangan kanannya.
"Mozart.." jawabnya lirih.
Aku jadi ingat. Semalam mama mengeluh kaset terapi the mozart effectnya
rusak karena terlalu sering diputar. Mama saat ini pasti sedang pergi
untuk membeli yang baru.
"Dasar idiot, gara-gara kamu mama jadi lupa datang ke acara sekolahku!" bentakku. Diana memandangku tanpa ekspresi.
"Kakak..." ucapnya tiba-tiba.
Tangan kecilnya meraih tanganku. Menariknya perlahan. Aku menghempaskan tangannya. Dia terhuyung ke belakang.
"Apaan sih kamu? Tanganmu kotor!" aku membentak lagi sambil mengibaskan tanganku.
"Lihat gambarku." Jawabnya singkat.
"Aku bisa nulis. Aku bisa gambar." Diana sumringah.
Dia merogoh sakunya sambil mengangsurkan secarik kertas yang sudah lusuh
dan penuh coretan krayon. Sepertinya aku mengenali kertas itu. Aku
merampas benda itu dari tangan Diana.
"Bagus kan, Kak?" tanyanya.
Aku terbelalak.
"Apa?! Dasar bocah idiot! Kamu tahu ini apa? Ini sertifikatku! Aku
berminggu-minggu belajar ekstra untuk mendapatkan ini! Kenapa malah kamu
coret-coret?!" emosiku memuncak.
"Kakak tidak suka?" Diana bertanya lagi.
"Aku lebih suka kamu mati." Jawabku ketus sambil melempar sertifikatku
yang sudah lecek itu keluar jendela. Aku segera berjalan sambil
menghentak-hentakkan kakiku menuju kamar. Kali ini bocah idiot itu sudah
sangat keterlaluan.
------
"Kakak bilang, kakak lebih suka aku mati.?" Diana berdiri di hadapanku.
Pandangan matanya kosong. Diana berbicara lancar. Tidak tergagap seperti
biasanya.
"Aku mau mati asal bisa bikin kakak suka sama aku." tambahnya. Aku
tercekat. Diana saat itu sedang mengenakan gaun pink favoritnya.
Wajahnya pucat. Dengan tangan yang gemetar, dia mengangsurkan secarik
kertas lusuh padaku. Aku menerimanya. Perlahan-lahan, aku membuka
lipatannya. Ada coretan krayon merah yang membentuk dua orang sedang
bergandengan tangan. Gambarnya memang jelek, tapi aku terharu saat
membaca judulnya; "Aku dan Kak Pram".
"Aku lompat dari jendela untuk mengambil kertas ini. Tadi kakak belum
lihat gambarnya. Aku ingin kakak melihatnya.. Aku sudah mati kak,
seperti kemauan kakak. Jadi sekarang kakak suka kan sama aku?" ucapnya
polos. Dadaku sesak.
***
Aku terbangun dengan keringat membasahi sekujur tubuhku. Napasku
tersengal-sengal seperti habis berlari marathon. Aku merasakan ada
sesuatu yang kugenggam di tangan kiriku.
Aku terhenyak. Dadaku berdetak cepat. Dengan tangan gemetar, aku membuka
lipatan kertas lusuh itu. Bagaimana benda ini bisa kugenggam? Aku
yakin, aku sudah melemparnya keluar jendela tadi. Tubuhku lemas ketika
aku mendapati yang ada dalam kertas itu adalah gambar dengan judul yang
sama persis dengan mimpiku.
Tanpa pikir panjang, aku segera berlari ke arah kamar Diana. Kumohon
Tuhan, maafkan aku. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Diana, aku tidak
akan pernah bisa memaafkan diriku. Aku yakin ini hanya mimpi, tapi
kenapa kertas ini bisa ada disini? Ya Tuhan, tolong lindungi Diana.
Aku merasa lega saat melihat Diana kecil dengan tangan dan bajunya yang
penuh dengan noda krayon sedang asyik mencoret-coret dinding kamarnya.
Syukurlah, ternyata hanya mimpi.
Aku melangkah masuk. Diana kecil masih sibuk menggoreskan krayonnya ke
dinding, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Aku terisak
perlahan saat kuamati coretan-coretan yang Diana buat di dinding
kamarnya.
"Aku sayang Kak Pram"
"Aku main boneka sama Kak Pram"
"Aku naik sepeda sama Kak Pram"
Ya Tuhan, jahat sekali aku selama ini. Kenapa aku bisa membenci adikku
sendiri? Aku memeluk erat Diana. Dia menghentikan kegiatan menggambarnya
dan memandangku. Tubuhnya dingin. Kertas lusuh yang kugenggam tadi
terjatuh. Diana meraihnya dan mengangsurkannya kembali padaku. Aku
menerimanya sambil tersenyum.
"Gambarmu bagus. Kamu pintar sekali." Pujiku sambil mengusap lembut rambutnya.
"DIANAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA...!!!"
Aku terkejut mendengar teriakan mama. Aku segera beranjak menuju jendela
untuk melihat apa yang terjadi di bawah sana, tapi suara Diana
menghentikan langkahku.
"Terima kasih, kak. Tidak sia-sia aku lompat dari jendela untuk
mengambil kertas ini. Tadi kakak belum lihat gambarnya. Aku ingin kakak
melihatnya..." ucapnya polos. Dia tersenyum.
Wajahku memucat. Apa maksudnya?? Aku mundur perlahan ke arah jendela.
Banyak kerumunan orang di bawah sana. Aku melihat mama sedang memeluk
gadis kecil yang terbaring dan bersimbah darah. Aku mengenali sosok itu.
Itu Diana.
Ragu-ragu, aku menatap kembali ke arah tembok. Diana sudah tidak ada di sana.
Ya Tuhan, Diana....
Bagaimana cerita pendek tentang kakak adik diatas. Kalo kalian bacanya menghayati pasti merasa sedih dan terharu deh. Cerpen Sedih Kakak Adik
diatas bisa juga jadi renungan buat kita, jangan pernah merasa malu
apalagi berlaku kasar dan gak mau nerima kalo punya seseorang yang
mempunyai kekurangan fisik (baca: cacat / anak berkebutuhan khusus).
Disalin dari facebook. Salam cinta dan persahabatan.